Bunyi 2 kendang ditabuh dengan rancak.
Diikuti dengan pukulan Jidor (semacam bedug mini) sebagai pemutusnya. Di
arena nampak 2 pasangan Bantengan siap “ditandingkan”. Kepala Banteng
saling ditautkan. Dan begitu Cemeti besar dipukulkan, bunyinya yang
keras menandakan “aduan” dua Banteng dimulai.
Ya, itulah seni tradisional Bantengan yang masih bisa dijumpai di
kawasan lereng Gunung Welirang - Arjuno dan Gunung Penanggungan. Di
Desa Pecalukan dan Lumbangrejo Kecamatan Prigen, serta beberapa desa di
Trawas dan Mojokerto, seni Bantengan masih tetap hidup sampai sekarang
ini. Masyarakat di kawasan itu masih konsisten berlatih dan menampilkan
seni Bantengan untuk menyemarakkan beberapa even. Misalnya, mengiringi
arakan pengantin, sunatan, pawai kemerdekaan, Festival Bantengan,
ritual Sedekah Bumi dan sebagainya.Disebut Bantengan, karena unsur utama kesenian ini adalah berupa Kepala Banteng, yang dibuat dari tanduk Sapi yang dibuatkan kepala dari kayu. Kemudian, Kepala Banteng itu dilengkapi dengan selubung kain panjang hitam menyerupai penutup. Diperlukan 2 orang untuk memainkan Bantengan ini. Seorang bertugas sebagai pemegang Kepala Banteng, sekaligus sebagai bagian kaki depan Bantengan. Orang yang lain, bertugas sebagai ekor, sekaligus kaki belakang Banteng.
Nah, saat kesurupan ini, betindaklah sesepuh/ pemimpin kesenian untuk segera menyadarkan dengan tindakan yang mereka kuasai. Memakai mantra, lalu meniup keras-keras telinga pemain. Saat tersadar, terlihat pemain yang baru bangkit itu matanya merah , seakan baru bangun dari tidur nan panjang. Entahlah. Ini kerasukan atau hanya halusinasi semata. Karena pemain Bantengan berada dalam selubung kain hitam dalam waktu yang lama. Mereka terus bergerak sesuai iringan musik. Bahkan suatu ketika diadu-adu. Disoraki oleh penonton. Tentunya, menimbulkan tekanan yang luar biasa. Tapi apapun itu, yang pasti pemain Bantengan lah yang merasakan.
Sebelum memainkan bantengan, biasanya perlu diadakan ritual dan menyiapkan ubo rampe, yang oleh masyarakat disebut Sandingan. yakni seperangkat hidangan dari sisir pisang matang dilengkapi dengan kembang-kembang. Juga diadakan ritual doa-doa memohon kelancaran dan keselamatan.
Biasanya Bantengan ini dilengkapi dengan Bujang Ganong, Jaran Kepang atau Topeng Monyet dan Topeng Harimau. Pemain pendukung, jumlahnya lebih dari 10 orang, biasanya diseragamkan sesuai ciri khas daerah masing-masing. Tapi umumnya cenderung memakai kaos lurik merah putih. Kaos khas Madura dipadu dengan celana gombor warna hitam.
Melihat atraksi Bantengan, nampaknya seni
ini masih mampu menjadi daya tarik dan mempunyai nilai jual tinggi bagi
masyarakat atau wisatawan. Untuk itu, sangatlah mengembirakan bila,
hari Sabtu, 27 April - Minggu 28 April 2013 nanti Pemerintah Kecamatan
Trawas menyelenggarakan Festival Bantengan. Selain untuk menghidupkan
seni itu sendiri, tentu saja ada tujuan wisata di dalamnya.
Konon, Bantengan ini erat kaitannya dengan budaya Majapahit. Untuk
menghibur dan menarik simpati masyarakat, pembesar Majapahit biasanya
menggelar Bantengan. Namun selain untuk hiburan, Seni Bantengan, yang
erat dengan seni Pencak Silat, juga termasuk salah satu cara untuk
menunjukkan kepiawaian dalam ilmu kanuragan. Bukan untuk pamer. Tapi,
dalam masa Majapahit kuno, kemampuan seperti ini tentu sangat
berkembang, selain untuk membela diri juga membela dan mempertahankan
wilayah kerajaan. Tak mungkin Majapahit menjadi kerajaan besar kalau
tidak mempunyai pasukan yang pilih tanding.Description: Sejarah Kesenian Bantengan
Rating: 4.5
Reviewer: Febrian
ItemReviewed: Sejarah Kesenian Bantengan
Posted by:Mbah Qopet
Mbah Qopet Updated at: 12:32 AM
0 comments
Post a Comment